KELOMPOK 4
ANALISA CIVIL SOCIETY DI INDONESIA
( Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Negara dan Masyarakat Sipil )

Disusun Oleh :
Azwirullah : 130565201008
Helia Putri Nurhayati : 130565201106
Iid Trianis : 130565201156
Mohd Syahreza : 140565201176
Dosen :
Kustiawan,
M. Pol.,Sc
PROGRAM STUDY ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI (UMRAH)
SEMESTER VII
TAHUN 2016
Kata Pengantar
Assalaamu’alaikum wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, dan tidak lupa
solawat beriring salam kita kepada Nabi besar Muhammad SAW, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah pada mata kuliah Negara dan
Masyarakat Sipil.
Makalah dengan judul “ANALISA CIVIL SOCIETY DI INDONESIA” ini kami susun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Negara dan Masyarakat Sipil yang
diberikan oleh Bapak Kustiawan, M. Pol.,Sc.
Kami mengucapkan
banyak terimakasih kepada Bapak Kustiawan, M. Pol.,Sc selaku dosen Negara dan Masyarakat Sipil, terima kasih juga kami ucapkan
kepada rekan-rekan yang telah membaca makalah ini.
Kami menyadari
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, dengan kerendahan hati Kami memohon maaf.
Semoga makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Wassalaamu’alaikum
wr. wb.
Tanjungpinang,
21 November 2016
Tim Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar ……………….……………………………………………………..i
Daftar Isi ……………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………..…………………………………………….1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pola Hubungan Civil Society, Pemerintah (Negara), dan Sektor
Swasta (Usahawan) ………………………………………………………3
B. Konsep
Civil Society Di Indonesia……...……………………………… ..5
C. Paradigma
dan Praktik Civil Society/ Masyarakat
Madani di
Indonesia …………………………………..……………………………...6
D.
Gerakan Sosial Masyarakat Madani (Civil Society)
Di Indonesia …………………………………….. ………………………9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………………11
B. Saran ……………………………………………………………………..11
Daftar Pustaka …………………………………………….………………………iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Berbagai macam konsep oleh para ahli dari zamannya
mengenai civil society, juga membuat
semakin berkembangnya sudut pandang baru terhadap civil society oleh berbagai macam individu. Namun, yang paling berpengaruh dalam menginspirasi gerakan
pro-demokrasi adalah mazhab Gramscian dan Tocquevillian di Eropa Timur dan
Eropa Tengah pada dasawarsa 80-an.
Alexis de Tocqueville (1805-1859), seorang ahli politik dari Perancis
yang memandang bahwa masyarakat sipil lah (civil
society) yang menyebabkan kuatnya demokrasi. Menurut Tocqueville, civil society adalah salah satu sumber
(selain kekuatan politik) kekuatan utama demokrasi Amerika menjadi kuat dengan
rakyat yang bercirikan plural, mandiri dan kedewasaan berpolitik[1].
Pada dasarnya civil society adalah
suatu kelompok masyarakat yang bersifat otonom atau independen, entitas yang
mampu memajukan diri sendiri namun, memiliki kekuatan untuk mengintervensi
kemapanan negara, agar negara itu sendiri berkembang dalam pengalaman
rakyatnya. Sebagaimana ciri dari negara demokrasi yang dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat.
Di Indonesia sendiri pada saat ini
masyarakat sipil menjadi suatu pembicaraan yang belum pernah selesai oleh para
kaum intelektual, tidak hanya perdebatan mengenai kekuatannya tetapi juga
mengenai eksistensinya. Menurut Eissenstadt dalam Lipset sebagaimana dikutip
oleh Afan Gaffar (2000: 180), masyarakat yang independen memiliki beberapa
komponen yang meliputi: Otonomi, akses masyarakat terhadap lembaga negara,
arena publik yang bersifat mandiri, dan terbuka. Sebagian besar masyarakat
golongan menengah dan bawah belum menunjukkan hal yang demikian disebutkan di
atas, dikarenakan pengetahuan politik yang awam dan cenderung apatis terhadap
pemerintah, sehingga golongan masyarakat seperti buruh, tani, feminis hingga
mahasiswa pun belum memiliki kekuatan untuk mengintervensi negara Indonesia
yang masih melekat budaya patriarki nya saat ini.
Selain itu, dengan
paduan konsep Tocqueville, Hannah Arendt dan Jurgen Habermas tentang ruang
publik (Public Sphere), Dawam
Rahardjo berpendapat bahwa dengan adanya ruang publik lah warga atau masyarakat
dapat melakukan kegiatan secara merdeka. Bentuk dari ruang publik itu sendiri
dapat muncul melalui adanya lembaga-lembaga sosial yang bersifat sukarela (volunteers), media massa, sekolah,
partai politik sampai pada lembaga yang dibentuk oleh negara tetapi berfungsi
sebagai lembaga pelayanan masyarakat.
B. Rumusan Masalah.
1.
Bagaimana Pola Hubungan Civil Society, Pemerintah (Negara), dan Sektor
Swasta (Usahawan) ?
2.
Seperti Apa Konsep Civil Society Di Indonesia ?
3.
Bagaimana Paradigma dan
Praktik Civil Society/ Masyarakat
Madani di Indonesia ?
4.
Apa Gerakan Sosial
Masyarakat Madani (Civil Society) Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pola
Hubungan Civil Society, Pemerintah
(Negara) , dan Sektor Swasta (Usahawan).
Pada era kontemporer,
paradigma mengenai negara tidak lagi menggunakan state center di mana pemerintah lah yang mendominasi dalam
melaksanakan segala sesuatu di dalam membangun negara. Paradigma lama tersebut
memandang bahwa masyarakat adalah sebuah objek dan pemerintah lah yang ahli
dalam mengatur negara. Namun, menurut Mansour Fakih (2001 : 52) saat ini
paradigma tersebut telah berubah menjadi paradigma interpretasi, masyarakat
menjadi subjektif yang dilibatkan perannya untuk membangun negara demi
kesejahteraannya.
Dalam tatanan
pemerintahan yang demokratis, masyarakat sipil salah satunya memperoleh peran
yang utama. Hal ini didasari prinsip dari demokrasi itu sendiri, yakni
kedualatan yang berada di tangan rakyat. Masyarakat sipil dalam mewujudkan
cita-citanya harus mempunyai dasar semangat, wawasan, akal sehat dan rela
berkorban. Dasar-dasar tersebutlah yang kemudian mewujudkan asosiasi-asosiasi
dalam bentuk lembaga-lembaga sosial yang bersifat suka rela demi mencapai
kebebasan penderitaannya.
Pemerintah merupakan
representatif negara, yang memiliki kewenangan dalam membuat kebijakan selama
masa jabatannya yang tertentu dalam negara demokrasi. Pemerintah Indonesia
dapat dikatakan memiliki stereotip yang buruk bagi mayoritas masyarakat
dikarenakan ketidakpeduliannya hingga arogansinya orang-orang berbaju dinas
yang bekerja dalam suatu instansi, hal itu disebabkan sisa-sisa kebudayaan pada
pemerintahan orde baru yang memiliki kedudukan paling tinggi dari dua komponen
masyarakat dan sektor swasta. Sehingga untuk saat ini pemerintah harus bekerja
keras dengan bentuk yang nyata dan cepat tanggap terhadap keluhan
masyarakatnya.
Selain itu, peran
sektor swasta tidak kalah penting dalam mewujudkan kesejahteraan. Sektor swasta
lebih ditekankan pada aspek ekonomi dalam sebuah negara yang kemudian dinikmati
oleh masyarakat. Sebagai suatu komponen yang berurusan dengan uang, maka tak
dapat dihindari jika suatu ketika kedudukannya berada di atas demi
kepentingannya sebagai kapitalis. Buruknya lagi adalah ketika negara dan sektor
swasta bersekongkol atau istilah lainnya yakni kolusi, kedudukan mereka akan
berada di atas secara sejajar sedangkan masyarakat berada di bawah dan semakin
tidak berdaya.
Lantas, bagaimana untuk
mewujudkan suatu kedudukan yang setara antara tiga komponen yang berpengaruh
ini dalam mencapai tata pemerintahan yang baik? Menurut A. Ubaedillah dan
kawan-kawan (2008 : 201), agar suatu sistem
dan tata cara mekanisme kepemerintahan berada dalam posisi seimbang, selaras,
dan kohesif, dan kongruen di mana peran rakyat sangat menentukan dapat terjadi
adalah dengan menempatkan komponen moral paling atas, sehingga moralitas
dijadikan sebagai landasan dari tiga komponen masyarakat/rakyat, negara, dan
sektor swasta dalam melakukan tindakan. Lanjutnya disebutkan, bahwa moral
merupakan operasionalisasi dari sikap dan pribadi seseorang yang beragama.
Dengan melaksanakan ajaran agama yang melekat pada pribadi-pribadi dalam ketiga
komponen tersebut, maka moral masing-masing pelaku akan berperan besar dalam
menciptakan tata kepemerintahan yang baik. (2008 :202).
B. Konsep Civil
Society di Indonesia
Masyarakat sipil di
Indonesia memilki banyak kesamaan istilah namun, dengan memiliki karakter dan
peran yang berbeda antara satu dari yang lain. Dalam buku Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (2008:193),
untuk pertama kalinya istilah ‘masyarakat madani’ dimunculkan oleh Anwar
Ibrahim, mantan wakil perdana Menteri Malaysia. Menurutnya, masyakat madani
merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.
Inisiatif dari individu
dan masyarakat dapat dalam bentuk pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang
berdasarkan undang-undang, dan bukan nafsu atau keinginan individu. Memang pada
dasarnya jika didasarkan oleh hawa nafsu atau keinginan individu manusia
cenderung mengabaikan akalnya, sehingga hal ini memicu terjadinya kekacauan
dalam mencapainya. Selanjutnya menurut Anwar Ibrahim, masyarakat madani
memiliki ciri yang khas yakni ; Kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan menghargai.
Diambil dari gagasan
oleh Anwar Ibrahim tersebut, Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani
sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan
bersama. Menurutnya, dalam masyarakat madani, warga negara bekerja sama
membangun ikatan sosial, jaringan produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang
bersifat non-negara. Artinya, masyarakat madani merupakan lembaga atau kelompok
yang bukan berada pada tuntutan pemerintah, melainkan suatu elemen yang mandiri
atau independen dengan dasar solidaritas, dan kesamaan visi yang mampu
memperkuat ikatan sosial di antaranya.
Sejalan dengan ide-ide
di atas, menurut cendikiawan Nurcholis Madjid (2008:194), makna masyarakat
madani berasal dari kata civility, yang
mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai
macam pandangan politik dan tingkah laku sosial.
Dapat ditulis garis
besarnya, bahwa civil society atau
masyarakat madani merupakan suatu ruang ikatan antar warga negara, yang mandiri
atau independen dengan landasan wawasan, semangat, intelektual ditambah visi
dan misinya demi memperkuat solidaritas sebagai subjek yang intervensi
kemapanan negara.
C. Paradigma dan Praktik Civil Society/ Masyarakat Madani di Indonesia.
Indonesia masih
memiliki budaya sipil atau civic culture yang
kuat. Organisasi tersebut yang berkembang pesat merupakan organisasi sosial
dengan basis .keagamaan. Pada masa sebelum kemerdekaan, organisasi ini berperan
dalam perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial,
seperti Sarekat Islam (SI), Nadlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah yang telah
menunjukkan kiprahnya sebagai suatu komponen civil society yang penting pada masanya.
Ada tiga pandangan atau
paradigma mengenai terwujudnya masyarakat madani (civil society) di Indonesia;
Pertama, paradigma integrasi nasional dan
politik. Pandangan ini menyatakan bahwa sistem demokrasi tidak akan mampu
berjalan dalam suatu kehidupan masyarakat jika masyarakat itu sendiri belum
memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Tanpa kesadaran tersebut,
akibatnya praktik berdemokrasi ala Barat ini hanya akan melahirkan kekacauan
yang meliputi sosial, ekonomi, dan politik.
Kedua,
pandangan reformasi
sistem politik demokrasi, yakni pandangan yang menekankan bahwa untuk membangun
demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada pembangunan ekonomi. Dalam hal
ini, pembangunan institusi-institusi politik yang demokratis lebih diutamakan
oleh negara dibanding pembangunan ekonomi. Namun pada kenyataannya, model ini
tidak menjamin demokrasi berjalan lancar, dikarenakan kegagalan demokrasi di
banyak negara disebabkan tingkat kemiskinan warga negaranya.
Ketiga,
Paradigma membangun
masyarakat madani sebagai basis utama pembangunan demokrasi. Pandangan ini
merupakan paradigma alternatif dari yang telah disebutkan sebelumnya, yang
lebih menekankan proses pendidikan dan penyadaran politik warga negara,
khususnya kalangan menengah. Secara teoretis, upaya pendidikan dan penyadaran
politik kelas menengah dapat dianggap sebagai bagian dari proses penyadaran
ideologis warga negara seperti yang disinggung oeh Gramsci (1891-1937).
Melalui pendidikan
politik, diharpkan pula lahirnya suatu tatanan masyrakat yang mandiri secara
ekonomi dan politik. Kemandirian mereka pada akhirnya akan melahirkan
masyarakat madani (civil society) yang
mampu melakukan kontrol terhadap hegemoni negara.
Menurut Rahardjo
(2008:206), tentang masyarakat madani di Indonesia, masih merupakan
lembaga-lembaga yang dihasilkan oleh sistem politik represif. Ciri kritisnya
lebih menonjol daripada konstruktifnya. Mereka, menurutnya, lebih banyak
menuntut daripada memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah, lebih banyak
melakukan protes daripada mengajukan solusi.
Sependapat dengan
Rahardjo, menurut AS. Hikam karakter masyarakat madani di Indonesia masih sangat
bergantung kepada negara sehingga selalu berada pada posisi subordinat,
khususnya bagi mereka yang berada pada strata sosial bawah. Lanjutnya, menurut Hikam, dalam konteks
pengembangan demokrasi dalam kenyataan ini merupakan tantangan mendesak untuk
memperlancar proses demokratisasi.
Dapat dikatakan bahwa
mayoritas masyarakat Indonesia belum mampu menjalankan demokrasi dengan baik,
dikarenakan dengan keterbatasan wawasan bagi kelas menengah dan bawah ditambah
minimnya kontribusi bagi kelas menengah atas, menjadikan bibit-bibit masyarakat
madani tadi menjadi manja atau bisa dikatakan pasrah terhadap kebijakan
pemerintah yang tidak memenuhi kebutuhan mereka.
Mahasiswa merupakan
salah satu komponen strategis bangsa Indonesia dalam pengembangan demokrasi dan
masyarakat madani. Perannya dalam menumbangkan rezim otoriter seharsunya
ditindaklanjuti dengan keterlibatan mahasiswa dalam proses demokratisasi bangsa
dan pengembangan masyarakat madani di Indonesia. Sebagai kelas menengah,
mahasiswa mempunyai tanggung jawab dan tugas terhadap masa depan masyarakat
madani, sikap dan tanggung jawab itu seharusnya dapat diwujudkan dengan
pengembangan sikap-sikap demokratis, toleran, dan kritis, sikap maupun
cara-cara mewujudkan hal tersebut tidak hanya pada saat menjalankan Kuliah
Kerja Nyata saja, tetapi dalam prilaku sehari-hari.
D. Gerakan Sosial Masyarakat Madani (Civil Society) Di Indonesia.
Iwan
Gardono (2008:208), mendefinisikan gerakan sosial sebagai aksi organisasi atau
kelompok masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang perubahan sosial. Pada
dasarnya perubahan sosial akan terus terjadi dengan sifat sosial manusia yang
dinamis. Artinya perubahan sosial akan selalu ada cepat atau lambat, bergantung
pada kesadaran yang segera ditindak yang dilakukan oleh suatu komponen atau
individu. Ambil contoh sederhananya adalah buruh, buruh pada awalnya merupakan
pekerja yang melaksanakan kewajibannya di bawah industri kapitalis. Dikarenakan
kesadaran para buruh yang timbul, maka semangatnya untuk mencapai kemerdakaan
dapat dilaksanakan walaupun tidak berakhir bahagia. Setidaknya, hal tersebutlah
salah satu contoh kekuatan oleh masyarakat jika adanya solidaritas dan
integritas demi kesejahteraannya.
Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas dari peran
gerakan sosial, gerakan
sosial dapat dipadankan dengan
perubahan
sosial atau masyarakat sipil
yang
didasari oleh pembagian tiga ranah,
yaitu
negara (state), perusahaan atau
pasar,
dan masyarakat
sipil. Berdasarkan pembagian
ini, maka terdapat gerakan
politik
yang berada
diranah negara dan gerakan
ekonomi. Pembagian ini telah
dibahas
juga oleh Sidney
Tarrow yang melihat
political parties berkaitan
dengan
gerakan politik,
yakni sebagai upaya perebutan dan
penguasaan jabatan
politik oleh partai politik melalui
pemilu, gerakan ekonomi
berkaitan dengan
lobby dimana terdapat upaya
melakukan perubahan kebijakan
publik tanpa
harus menduduki jabatan politik
tersebut.
Berdasarkan
pemetaan diatas, secara
empiris ketigaya dapat saling
bersinergi, pada ranah negara dapat menjadi beberapa
gerakan politik yang dilakukan
oleh parpol
dalam pemilu yang mengusung
masalah yang juga didukung
oleh
gerakan sosial. Sebagai contoh gerakan sosial oleh
masyarakat sipil seperti mereka yang pro atau anti Rancangan Undang-undang
Anti Pornografi
dan Pornoaksi
(RUU APP) mempunyai
kaitan dengan kelompok atau
parpol di ranah politik
maupun kelompok
bisnis pada sisi yang lain.
Sebagai contoh Gerakan massa 411 yang baru- baru ini terjadi
menuntut agar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diproses
hukum karena diduga melakukan Penistaan Agama, selanjutnya di sampaikan
langsung oleh Habib Rizieq selaku perwakilan dari GNPF MUI, Gerakan Nasional
Pengawal Fatwa MUI melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh umat islam, dan
hasil dari pertemuan itu salah satunya adalah di sepakatinya keputusan Aksi
Damai bela islam yang di rencakan akan di laksanakan pada hari Jum’at tanggal 2
Desember, keputusan ini di lakukan karena Ahok yang sudah menjadi tersangka
namun tidak di tahan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dapat kita pahami bahwa makna dari civil society itu adalah
suatu masyarakat yang begitu partisipasi atas system demokrasi dan
menjunjung tinggi hak asasi orang lain. Hal tersebut sesuatu yang baik, yang
apabila suatu parlemen (pemerintahan) belum bisa, bahkan tidak bias menegakan
system demokrasi dan hak asai manusia.. Di sinilah kemudian civil
society menjadi alternatif pemecahan dengan pemberdayaan dan pnguatan daya
kontrol masyarakat terhadap kebijakan – kebijakan pemerintah yang pada akhirnya
terwujud kekuatan masyarakat sipil yang mampu merealisasikan konsep hidup yang
demokrasi dan menghargai hak asaai manusia. Terjaminnya
mutu perekonomian, lengkapnya fasilitas dunia pendidikan, terbukanya masyarakat
dalam memberikan suatu kritikan terhadap pemerintah dan bertaqwa kepada
Sang Kholiq, merupakan faktor – faktor yang dapat membangun masyarakat
madani di Indonesia.
B. Saran.
Wujudkan
masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni
melalui peningkatan kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem
ekonomi, serta menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan
menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki
kehidupan bangsa ini secara perlahan.
Daftar Pustaka
Ubaedillah A. 2008, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani
Mansour Fakih. 2002, Runtuhnya Teori Pembangunan Globalisasi
Afan Gaffar. 1999, Politik
Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar